Sunday, April 29, 2012
Inilah Wawancara "Kompas" dengan Zaini Abdullah
Mohamad Burhanudin | Marcus Suprihadi | Minggu, 22 April 2012 | 19:39 WIB
BANDA ACEH, KOMPAS.com — Komisi Independen Pemilihan Aceh, Selasa (17/4/2012), akhirnya menetapkan Zaini Abdullah, mantan Menteri Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka, sebagai calon gubernur Aceh terpilih untuk periode 2012-2017. Zaini yang menggandeng Muzakir Manaf yang juga mantan Panglima GAM meraih suara signifikan, yaitu 55,78 persen dalam Pilkada Aceh.
Di tangan bekas pucuk pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itulah nasib Aceh lima tahun ke depan dipertaruhkan. Bagi Zaini, ini tentu sebuah pencapaian politik tersendiri setelah periode konflik RI-GAM yang memaksanya harus empat tahun hidup di hutan, dan 30 tahun menghabiskan waktu di pengasingan di luar negeri.
Dokter Zaini, begitulah dia biasa dipanggil, harus menyelesaikan masalah-masalah mendasar di Aceh yang kompleks. Perdamaian yang rapuh, kemiskinan, dan korupsi adalah serentetan persoalan di Aceh yang sampai saat ini belum terselesaikan.
Nah, apa rencana Zaini dalam masa kepemimpinannya di Aceh lima tahun ke depan? Berikut petikan wawancara Kompas dengan pria kelahiran Pidie, 72 tahun silam itu, Selasa lalu di Banda Aceh.
Bagaimana perasaaan Anda setelah ditetapkan sebagai gubernur terpilih oleh KIP (Komisi Independen Pemilihan) Aceh?
Saya berterima kasih kepada keputusan yang dibuat KIP. Dan kami mengucap syukur alhamdulillah, demikian pula kepada seluruh masyarakat Aceh yang telah memercayai saya untuk memegang pucuk pimpinan di Aceh. Tak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait, tim sukses, dan media yang tak kenal lelah dalam memberikan informasi melalui media.
Saya tentu senang dan terharu sekali dengan keputusan tersebut walaupun ini telah kami dapat dari hasil-hasil survei LSI pada malam itu.
Pada tahun pertama, apa yang akan Anda lakukan?
Pada tahun-tahun pertama kepemimpinan kami ini, prioritas kebijakan yang akan kami lakukan adalah terus menjaga perdamaian yang hakiki dan menyeluruh bagi seluruh rakyat Aceh.
Kemudian, kami juga memprioritaskan masalah perekonomian rakyat, termasuk di dalamnya masalah kesehatan, pendidikan, pertanian, tata kelola pemerintahan, dan konsolidasi regulasi, dan lain sebagainya. Sesuai visi dan misi yang telah kami tetapkan.
Sesuai yang kami sampaikan kepada masyarakat di dalam kampanye, kami juga akan mengurangi faktor-faktor kemiskinan. Kemudian juga masalah pengangguran. Jadi, tujuan utama kami adalah masyarakat menengah ke bawah agar ada peningkatan perekonomian mereka. Perbaikan hasil petani, pekebun, dan nelayan, serta untuk rakyat kecil korban konflik dan tsunami, yang mengalami kemiskinan, yang sebagian besar angkanya ada di pedesaan, juga sebagian di perkotaan
Konkretnya?
Kami tentu akan mengadakan perbaikan pada struktur dan administrasi dan cara kerja. Ini APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) kami fokuskan. Kenapa di Aceh ini ada begitu banyak uang, dari hibah-hibah, tetapi kemiskinan justru terjadi di Aceh.
Kemudian, kami juga akan lihat hasil bumi di Aceh. Ada demikian banyak hasil bumi di Aceh, tetapi rakyat kecil dalam keadaan miskin. Ini yang akan kami lihat, di mana letak kesalahan tersebut.
Kesalahan itu ada di mana?
Tepatnya tak bisa saya katakan di sini. Mungkin nanti saat sudah bekerja, kami akan mengetahui di mana letak kesalahan. Demikian pula pada sisi manajemen, yaang semestinya mereka berjalan menurut apa yang diprogramkan partai.
Kemudian, faktor-faktor meningkatnya korupsi, ini juga suatu hambatan sehingga tak bisa dicapai sesuai semestinya.
Angka korupsi di Aceh tinggi, apa yang akan dilakukan?
Tujuan kami nanti setelah pelantikan, kami akan membina good governance dan clean government,juga ditambah dengan disiplin. Itu yang harus ditancapkan sebagai momen yang harus dikejar. Semua harus bekerja secara disiplin. Dengan demikian, mereka yang bekerja bertanggung jawab dari awal hingga selesai.
Langkah kongkret membangun pemerintahan yang bersih?
Itu tak bisa serta merta. Berilah waktu. Ini secara bertahap saya kira, dan bergantung taraf mana dan di mana terjadinya keadaan tersebut. Sejak semula kami mengatakan bahwa pemerintahan ini akan kami pimpin, dan tujuannya adalah mengurangi itu semua dan dihapus, serta menurunkan korupsi.
Persoalan di Aceh adalah tingginya proporsi anggaran di Aceh untuk belanja rutin dan gaji pegawai. Birokrasi gemuk. Apakah akan ada reformasi birokrasi?
Yang saya lihat, seperti saat saya lama di luar negeri, kami akan mencoba memperbaiki birokrasi yang ada di Aceh. Kami akan mencoba mempermudah sistem birokrasi di Aceh. Karena seperti yang kami lihat sekarang, untuk mendapatkan izin lama sekali dan mesti harus dilicinkan dengan uang, bersalaman di bawah meja. Sesuatu yang tak seharusnya ada. Jika tidak dihapuskan akan gagal.
Ini sistem yang harus kami tegaskan, kami daerah syariah. Jangan hanya lips servic syariah. Akan tetapi, dilaksanakan ajaran Islam itu. Kami akan adakan diskusi, ikut sertakan semua pihak, termasuk soal-soal akidah, pendidikan, ekonomi, kami nanti akan pilah-pilah, siapa saja yang mempunyai kemahiran.
Proporsi anggaran pembangunan kecil, apa yang akan Bapak lakukan?
Itulah sebabnya saya heran. Saya dengar bahwa semua ingin menjadi PNS. Apa pun mereka korbankan. Jual tanah untuk menjadi PNS. Itu sayang sekali. PNS itukan bukan segala-galanya. Tak menjadi PNS seakan-akan hilang kepercayaan diri mereka. Ini yang kami coba alihkan dengan cara mengikutrsertakan swasta. Pendidikan menjadi sangat penting.
Dengan mencoba mengalihkan ini, dengan mengutamakan pendidikan yang cepat dan profesional, seperti pendidikan kejuruan. Dengan demikian, mereka yang tamat langsung bisa bekerja membidangi tentang apa yang sudah mereka pelajari. Percaya pada diri sendiri dan mampu mengelola bidang yang dipelajari sehingga mereka akan berdiri di atas kaki sendiri.
Ini perlu bantuan-bantuan perbaikan irigasi, pemberdayaan nelayan, juga penting sekali diadakan dalam jangka waktu pendek adalah koperasi untuk menampung hasil perkebunan, persawahan, dan perikanan. Dengan demikian, mereka membeli produk petani dengan harga yang pantas. Selama ini, kan, mereka menjual kepada cukong-cukong, yang menjualnya ke Medan dengan harga murah dan menjualnya kembali ke Aceh dengan harga tinggi. Yang rugi rakyat Aceh sendiri.
MOU Helsinki belum tecermin secara keseluruhan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, apa yang akan dilakukan nanti?
Ini termasuk di dalam visi dan misi kami, di mana untuk melanjutkan perdamaian yang ada supaya merata. Itu poin-poin yang harus diterapkan dalam UUPA.
Kami sadari bahwa masih banyak poin-poin MOU yang belum diwujudkan oleh gubernur terdahulu, misalnya Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 2005 yang menyangkut implementasi MOU kepada pihak-pihak terkait, salah satunya kepada gubernur, yaitu mempersiapkan undang-undang untuk pemerintahan Aceh, dan hal ini sudah ditatkan UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA), selanjutnya masalah batas wilayah Aceh, simbol, himne, lambang, bendera, dan Lembaga Wali Nanggroe, tetapi hal ini belum terlaksana sampai sekarang, di samping beberapa hal lain yang belum terakomondasi dalam UUPA, dan ini semua akan dibentuk tim untuk menyisir kembali hal-hal yang belum terakomodasitersebut.
Perlu proses dan lobi-lobi ke pusat untuk dapat mewujudkan implementasi MOU Helsinki secara total karena tindak lanjutnya mau tidak mau harus berupa undang-undang. Nah, apa yang akan dilakukan nanti?
Itu sudah kami lakukan, kami sudah adakan diskusi dan konsolidasi dengan pemerintah pusat. Kami sudah menjalankan hal-hal tersebut. Akan tetapi, realisasinya belum tampak seperti yang diharapkan. Namun, belakangan, dengan telah kembalinya pihak CMI (Crisis Management Initiative) untuk meneruskan kerja mereka walaupun kali ini bukan sebagai mediator, tetapi pemantau. Kami sudah bertemu beberapa kali dengan mereka. Ini hal-hal yang kami bicarakan dengan hal-hal yang semestinya dibicarakan dengan pemerintah pusat.
Jadi, saya kira kami sudah ada kata yang sepakat untuk itu. Jika tak ada hal-hal lain, ini akan tercapai. Ini juga salah satu poin di dalam komitmen bersama antara Partai Aceh dengan Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Otda. Itu sebabnya pada waktu itu kami tak ingin mendaftar sebagai calon.
Dua kali kami bertemu, pertama Oktober, dan kedua Desember. Yang sudah kami setujui bersama ada 4 hal, yaitu pilkada ditunda, ada penjabat gubernur, diterima putusan MK, dan yang keempat lain kali tak boleh ada pemangkasan atas pasal-pasal dalam UU Pemerintahan Aceh, serta poin-poin dalam MOU Helsinki harus diimplementasikan.
Dalam beberapa perundingan, Aceh dikhianati pemerintah pusat, apakah ada keyakinan untuk dapat mendorong terimplementasikannya MOU Helsinki?
Saya kira sudah menjadi bagian dari upaya konsolidasi dan komunikasi dengan pemerintah pusat. Di sini saya fokuskan kepada tiga perkara, yaitu keikhlasan, ketulusan, dan keterbukaan. Ini kunci tercapaiannya keadilan. Ini yang menjadi masalah di masa lalu sehingga rakyat Aceh memberontak, dan terakhir kejadian ini. Ini yang kami tunggu dari pemerintah pusat. Sekarang kami damai, damai setelah 30 tahun konflik. Itu harganya darah, nyawa, dan air mata.
Di samping itu, juga ada faktor-faktor lain, seperti kemiskinan, banyak janda-janda, banyak warga kehilangan harta, rumah, dan tak tahu harus ke mana. Jadi, itu yang menjadi pokok persoalan. Kedua belah pihak, tak hanya mereka saja, kami juga. Kami sudah curahkan hati kami berdamai di bawah NKRI. Tuntutan merdeka sudah kami kesampingkan. Sekarang apa yang kami bina adalah apa yang sesuai dengan MOU, perdamaian di bawah NKRI. Jadi, dengan demikian faktor-faktor lain yang bisa mengganggu perdamaian dapat kami buat diskusi face to face, lobi, dan lain sebagiannya. Insya Allah akan berjalan baik, dengan keterbukaan dan kerja sama dengan pemerintah pusat.
Soal Pilkada Aceh
Akan ada luka politik setelah pilkada yang panjang dan penuh kekerasn di Aceh ini, apa yang akan Anda lakukan?
Saya kira kami akan melibatkan semua pihak, berdiskusi dengan semua pihak, di mana sebenarnya persoalan ini, apa sebabnya. Dengan demikian kami kembalikan apa sebenarnya tujuan kami hidup di Aceh. Tak lain pikiran mereka adalah untuk menyejahterakan rakyat Aceh.
Dengan menjadikan ini sebagai tujuan kami, maka saya yakin semua dari kami akan bekerja keras tanpa mementingkan tujuan pribadi dan kelompok, hanya rakyat Aceh. Mereka sudah cukup lama menderita akibat konflik, berulang-ulang. Ini harus diakhiri.
Jelang pilkada, GAM terpecah, akan ada rekonsiliasi politik?
Tak ada perpecahan. Semua yang ada, siapa saja yang terlibat di situ melaksanakan apa yang menjadi amanat dari organisasi. Akan tetapi, apa yang terjadi jauh dari itu. Mereka yang dulu menjalankan pemerintahan waktu itu, bukan sebagai yang punya prinsip yang sama. Saya sebagai salah seorang pucuk pimpinan dan lama berkecimpung di dalam gerakan GAM sejak 1977, kami mendapatkan tempaan yang betul-betul.
Saya berkorban meninggalkan segala hal yang saya punyai, kalau saya berpikir pribadi sebagai dokter zaini, saya pikir sudah cukup, tak perlu lagi yang lain. Akan tetapi, sekarang rakyat Aceh membutuhkan, saya pun terpanggil.
Sejak muda, saya tinggal di pegunungan 4 tahun, setelah itu harus tinggal di luar negeri. Di luar negeri. saya juga harus memperkenalkan gerakan Aceh ke seluruh dunia, yang alhamdulillah kami dapat berkat arahan dari almarhum. Bersama Wali Mahmud.
Tentunya, kami sebagai orang yang dididik demikian, paham bagaimana menjadi manusia-manusia yang idealis. Adapun yang lain menjadi pihak-pihak pragmatis, mereka datang belakangan. Mereka mungkin baru datang setelah tahun 1998. Mereka bukan dengan fitrah. Mereka tidak sama. Kalau mereka sama tentu akan menggunakan amanat partai.
Mereka hanya menggunakan baju. Akan tetapi, mereka tetap anak-anak kami, rekan-rekan kami, bekerjalah sesuai dengan amanat yang ada. Jangankan konsultasi, jumpa pun tidak pernah. Namun, bagi kami tak ada waktu untuk melihat perubahan-perubahan, yang kami utamakan adalah persatuan rakyat Aceh. Itu yang kami sampaikan dalam kampanye.
Bagaimana jika Irwandi kembali?
Saya kira bukan hanya Irwandi, semua masyarakat terbuka untuk dapat berkecimpung.Ini kepemimpinan tak bisa hanya dipegang Zaini-Muzakir, semua pihak dilibatkan. Mungkin ada pemerintah bayangan misalnya, itu contoh. Duduklah orang-orang yang mempunyai keahlian, sepertithink tank. Jadi nanti kebersamaan dalam membesarkan sesuatu yang perlu untuk Aceh, itu perlu.
Apakah orang-orang Partai Aceh saja nantinya yang menikmati pembangunan?
Saya kira kami telah berulang kali memberikan informasi kepada rakyat Aceh. Dulu kami GAM, berubah menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh), dan dibolehkan buat partai lokal. Nah, partai lokal ini hasil terakhir dari perjuangan yang begitu lama. Dari semula kami berjuang, kalau tak ada rakyat Aceh kami tak bisa hidup.
Kami ini hanya pion, mengikuti gerakan yang dipimpin Hasan Tiro. Pion agar perubahan di Aceh terjadi. Perubahan yang waktu itu kami pandang tak ada jalan lain kecuali berperang. Jadi bukan untuk memisahkan, tidak ada itu. Jadi untuk mendapatkan suatu tujuan perubahan.
Karena itulah, partai Aceh ini untuk rakyat Aceh. Partai Aceh bukan hanya untuk kombatan, tetapi juga seluruh rakyat Aceh. Kami datang ke Bener Meriah, Aceh Selatan, bukan hanya orang Aceh ada orang Jawa, China. Tanggung jawab yang sama.
Soal NKRI
Bagaimana komitmen Zaini-Muzakir terhadap NKRI?
Manyangkut dengan komitmen kami terhadap NKRI sebenarnya apa yang telah tercantum dalam konsideran MOU Helsinki, dan juga dengan lahirnya UUPA, telah memperkuat argumentasi bahwa Aceh merupakan bagian dari NKRI dalam Konstitusi Indonesia.
Apakah Zaini-Muzakir siap untuk terbuka dan transparan dalam masa pemerintahannya ke depan?
Ya, dan salah satu misi kami adalah keterbukaan dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan amanah
Ada 3 jenderal purnawirawan dalam tubuh timses Zaini-Muzakir, apakah mereka kepanjangan tangan dari kekuatan-kekuatan politik di Jakarta?
Bagi kami kehadiran tiga mantan jenderal itu adalah dalam rangka memperkuat komitmen terhadap perdamaian Aceh.
Apakah ada deal politik dengan partai-partai politik di Jakarta terkait kemenangan PA dalam pilkada ini?
Mereka terpanggil untuk memperkuat perdamaian yang sudah tercipta di Aceh.
Pada Pemilu tahun 2009, PA dekat dengan Partai Demokrat dan SBY, bagaimana dengan tahun 2014 nanti?
Pada prinsipnya kami selalu terbuka dan ingin bekerja sama dengan semua pihak, apalagi dengan Pak Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan instrumental dalam usaha perdamaian Aceh.
Sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur Aceh yang diusung oleh Partai Aceh, yang notabene adalah partai yang didirikan para eksponen GAM, bagaimana langkah Zaini-Muzakir nanti untuk meneruskan garis perjuangan GAM?
GAM telah berubah menjadi Partai Politik Lokal (Partai Aceh). PA akan melanjutkan perdamaian berdasarkan MOU Helsinki dan UUPA dalam konstitusi Indonesia.
Bagaimana dengan masa depan syariah Islam di Aceh?
Bagi kami, persoalan Syariat Islam bukanlah hal baru, karena hal ini telah ada, jauh sebelum kita mengenal istilah itu sekarang. Menurut kami, istilah syariat Islam mulai dikembangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), waktu itu yang kemudian dikeluarkannya UU No 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh.
Salah satunya menyangkut dengan Agama, dan peran MPU, selanjutnya dipertegas dalam UU No 18 Tahun 2001 tentang Otsus Aceh. Namun, jauh dari istilah itu, kami sangat konsen dalam hal ini, yang jelas masalah ini menjadi fokus kami untuk melihat Aceh yang lebih baik, khususnya Aceh yang bermartabat, sejahtera, berkeadilan, dan mandiri berlandaskan UUPA sebagai wujud MOU Helsinki.
ARIFFADHILLAH CURI SERBAN TENGKU CHIK DI TIRO
>From: lampu sorot
>To: iacsf@yahoogroups.com
>Sent: Sunday, April 1, 2012 5:09 AM
>
>Subject: |IACSF| ARIFFADHILLAH CURI SERBAN TENGKU CHIK DI TIRO
>
>
> Assalamu'alaikum Wr.Wb.,
>
>
>GEMPAR
>Selebaran berlambangkan Buraq dan Singa bertaburan dimana-mana, undangan untuk menghadiri perhelatan besar yang diseponsori Poros Musang Berbulu Ayam, Arif Fadhillah-Dr Husaini Hasan MD (AF-HH), 6-8 April 2012 di Denmark.
>
>
>Belum pernah Kop Surat Kebesaran GAM/ASNLF diobral murah semacam itu dimasa hidup Wali Negara (WN) sekalipun.
>Lagaknya, seolah-olah Arief Fadhillah (AF) lah sang Putra Mahkota Famili Di Tiro, yang menunggu harinya menuju takhta Wali Negara. Ecèk-ecèk nya dimuka bumi ini Arief Fadhillah-lah yang paling pantas dan berhak atas pusaka peninggalan Famili Di Tiro.
>
>
>POROS MUSANG BERBULU AYAM
>Indonesia penasaran, dikarenakan kubu Tengku Malik Mahmud - Dr. Tengku Zaini Abdullah, menolak pembubaran GAM/ ASNLF secara terang2an, berdalih dengan alasan bahwa GAM sebagai para pihak yang berunding di Helsinki, kapan2 masih diperlukan untuk pembahasan materi yang tak terduga.
>
>
>Indonesia sangat kecewa, oleh sebab itu Intelijen Indonesia bersekongkol dengan Poros Musang Berbulu Ayam Arief Fadhilah - Hussaini Hasan, untuk menghancur-leburkan GAM/ ASNLF, atau ASNLF/ GAM dari dalam, untuk menciptakan huru-hara baru mirip perseteruan GAM lawan MP-GAM diabad lalu.
>
>KEPALSUAN MENCOLOK MATA
>Didalam negeri, sepanjang hayatnya tidak ada sumbangan berarti terhadap gerilyawan GAM, tidak pernah memberikan 10 ton beras pun.
>Di luar negeri, persoalan suaka politik dirinya dengan Pemerintah Jermanpun berlarut-larut. Mengapakah Jerman sangat hati2?
>
>
>Karena keterlibatan Arif Fadhillah dalam GAM sangat tipis. Mengapakah negara2 Eropa lainnya tidak segera menolong Arief Fadhilah? Ini juga memperlihatkan bukti keterlibatan Arief Fadhilah dalam GAM sangat minimal. Nah, dalam keadaan dhaif demikian rupa, lantas dengan nafsu yang bergelora Arif Fadhillah memposisikan dirinya sebagai Putra Mahkota Gadungan Famili Di Tiro yang ingin melompat ke tahta Wali Negara.
>
>Yang paling parah lagi, ketika WN meninggal dunia belum lama berselang, tidak kedengaran Arif Fadhillah menyatakan belasungkawa didepan umum atau seruan berdo'a, sebagaimana layaknya kalau Arief Fadhilah memposisikan dirinya sebagai ahli waris. Bagaimana Arief Fadhilah menjadi Wali Negara, untuk mengurus perang gerilya, padahal kulitnya belum pernah tergores lalangpun di medan juang. Kan ini namanya palsu. Bagai Pungguk Rindukan Bulan.
>
>Arif Fadhillah dan Dr Husaini Hasan MD menyusup masuk Danmark pada akhir Desember 2011, hanya untuk mempersiapkan siasat Poros Musang Berbulu Ayam. Tetapi Arif Fadhillah tidak masuk Denmark, dalam rangka meninggal nya WN, ketika warga Achèh disana ramai2 berdo'a memohon keampunan kepada WN, untuk memimpin acara berdo'a, atau sekurang-kurangnya ikut sama2 berdo'a. Ini bukti paling jelas bahwa Arif Fadhillah mencurahkan perhatiannya hanya untuk merebut pusaka, tanpa sedikit pun memiliki ikatan batin, historis, politik, dan ideologi dengan WN.
>
>HEBOH BESAR
>Diawal tahun 2011 Dr Husaini Hasan MD bertemu dengan Tangan Kanan Susilo Bambang Yudhoyono, di Malaysia. Uang Sogok membuat Dr Husaini Hasan MD, berobah total. Semenjak itu ia meniup serunai lagu misi terselubungnya dengan Intelijen Indonesia.
>
>
>Tak segan2 ia mengatakan bahwa, merdeka adalah mustahil bagi Achèh, karena Indonesia sangatlah kuat disegala bidang. Hanya ada satu pilihan berkompromi, ditegaskannya berulangkali, kemanapun dia pergi. Karena ini telah diucapkannya berulang kali, bisa jadi inilah prinsip Dr Husaini Hasan MD dalam lubuk hatinya. Jadi aneh sekali kalau dia konon mau mendirikan organisasi perjuangan Achèh.
>
>
>Maka sangatlah mudah dipahami , sebenar nya yang ingin diciptakannya adalah huru-hara baru, model permusuhan GAM lawan MP-GAM diabad lalu, dan Hussaini Hasan, telah sangat berpengalaman dalam urusan seperti itu.
>Kalau di MoU Helsinki dipakai istilah " Self-Government ", untuk menipu Achèh, maka Dr Husaini Hasan MD pun sudah siap dengan konsep Negara Achèh Merdeka model "commonwealth".
>
>
>Ini kan aneh, mana ada istilah negara "commonwealth" di Indonesia, itukan istilah negara2 peninggalan Inggris. Atau satu konsep lagi Negara Achèh Merdeka dengan Polisi orang Acèh dan Tentara Orang Jawa (TNI).
>
>
>Sangatlah janggal sebuah negara merdeka di dunia yang mempercayakan pertahanan kedaulatan negaranya kepada musuh kolonialisme, seperti hal nya Achèh dengan Indonesia. Ini kan lagi2 Wah-Kepala.
>
>KECAMAN BERTUBI-TUBI
>Tidak habis2nya Dr Husaini Hasan MD mengecam kubu Tengku Malik Mahmud-Dr. Tengku Zaini Abdullah gara2 MoU Helsinki, tetapi dia tidak mengecam dirinya sendiri padahal berperilaku sama bila sudah diberikan Uang Sogok oleh Indonesia. Pertemuan rahasia Dr Husaini Hasan MD di Malaysia dengan Utusan Khusus SBY, membuat HH terus menjadi ujung tombak Intelijen Indonesia untuk melanjutkan Politik Uang dalam menghancurkan sisa2 GAM. Tak segan2 Dr Husaini Hasan MD menawarkan perhiasan dunia kepada orang Aceh asalkan bersedia melanjutkan gendang irama perundingan model MoU Helsinki untuk menabur butir2 penipuan baru dalam memperkuat cengkeraman penjajahan Indonesia keatas Aceh.
>
>KELIRU BESAR
> Adalah keliru besar kalau Poros Musang Berbulu Ayam AF-HH menganggap ASNLF/ GAM, atau GAM/ ASNLF sebagai warisan mereka, lalu berbuat sesuka hati. Keliru, karena mereka lupa memperhitungkan bahwa gerilyawan GAM tidak lebur dan tetap dengan nalurinya ASNLF/ GAM, atau GAM/ ASNLF sebagai bagian darah-gapah mereka.
>
>Terjadilah konflik berkepanjangan , dan huru-hara semacam inilah yang diinginkan oleh Indonesia. Skenario ini telah direkayasa oleh satuan intelijen Indonesia lewat terobosan Poros Musang Berbulu Ayam Arief Fadillah - Hussaini Hasan, dengan memasukkan racun MP-GAM dalam ASNLF/ GAM atau
>
>
>GAM/ASNLF.
>Jadi kalau di abad ke-20 yang lalu HH tercatat sebagai juara terbesar dengan MP-GAM nya, yang berujung dengan pertumpahan darah sesama orang Achèh. Di abad ke-21 ini Poros Musang Berbulu Ayam Arief Fadillah - Hussaini Hasan, menciptakan huru-hara baru yang lebih parah dan berkepanjangan.
>
>
>
>Malang nya, hal ini dilakukan semua dalam persekongkolan dengan Intelijen Indonesia, karena Dr Husaini Hasan MD sudah terlanjur menerima Dana Kelancaran Urusan dari Indonesia.
>
>KONSTITUSI
>Gerilyawan GAM yang berperang berlumuran darah, mengapa Poros Musang Berbulu Ayam yang mengurus Konstitusi ? Kerja chèt langit terus.
>
>MU- GAM, BAJU BARU MP-GAM
>Lagaknya meniru-niru badan dunia PBB, disana ada lembaga Majlis Umum. Sekarang MP-GAM mau lebih bergaya dengan pembentukan lembaga baru bernama Majlis Umum (MU), jadilah Majlis Umum GAM . Wah, Kepala. Gejala apa lagi ?
>
>DIA YANG MAKAN NANGKA MAU TIMPAKAN GETAH KE ORANG LAIN.
>Disebutkan nya Rekonsiliasi GAM 6-8 April 2012 di Denmark. Kita mau tanya, GAM mana yang rekonsiliasi ? Yang benar adalah rekonsiliasi Poros Musang Berbulu Ayam, Hussaini Hasan yang terima Uang Panas dari Indonesia mau mengelabui orang lain.
>
>
>Dia yang makan nangka mau menimpakan getah ke hamba2 yang tidak berdosa. Itulah sebabnya pertemuan hura-hura di Denmark sangat penting bagi Pak Dokter Spesialis Kandungan Dr Husaini Hasan MD
>.
>1 APRIL 2012LIPUTAN TIM REDAKSI LAMPU SOROT
Lampiran (6)
NKRI Didirikan di Atas Konsep Salah [Pidato Milad AM ke 35 di Swedia]
Dr. Husaini Hasan [Sesepuh Atjeh Merdeka] | Senin, 05 Desember 2011
Saudara-saudara bangsa-bangsa Melayu Nusantara.
Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang anda diami sekarang ini didirikan atas konsep yang salah.
Konsep kelanjutan penjajahan Hindia Belanda atas bangsa-bangsa melayu nusantara.
Indonesia dibentuk atas dasar penyatuan negara-negara atau kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang telah ditaklukkan oleh Belanda pada zaman kolonial.
Negara2 taklukkan ini dipaksa oleh Belanda diperintah dibawah Pemerintah Jajahan Belanda yang disebut The Dutch East Indies(Hindia Belanda).
Apa hak Indonesia mewarisi Pemerintah Hindia Belanda melanjutkan penjajahan atas Negara Aceh,
bangsa-bangsa melayu di Sumatra, Negara Pasundan, Kesultanan Jawa, Negara Bali, Lombok, Sumbawa, kepulauan Maluku, Borneo, Sulawesi, dan Papua; sedangkan pewaris negeri-negeri itu masih ada.
Yang sangat ironi lagi adalah penjajahan dalam bentuk apapun telah diharamkan pada abad ini, mengapa UN dan negara-negara yang tergabung dalam UN diam sahaja membiarkan penjajahan Republik Indonesia keatas bangsa-bangsa melayu Nusantara.
Apa hak Indonesia mengambil hasil-hasil bumi dan tambang dari Aceh, dari Maluku, dari Papua dan dari negara-negara melayu nusantara diboyong ke Jawa untuk membangun Jawa sedangkan anak-anak negeri tersebut diperlakukan seperti anak jajahan mereka dan harus menyembah ke Jakarta mengharapkan belas kasihan Jakarta meminta kembali sedikit dari hasil bumi mereka sendiri yang telah diangkut oleh RI ke Jawa atau telah dijual oleh pembesar-pembesar Indonesia?
Belanda telah memerangi bangsa-bangsa melayu di Asia Tenggara secara terpisah-pisah dan menyatukannya dibawah satu administrasi penjajahan mereka yang dipusatkan di jakarta, dulunya bernama Batavia. Konsep penjajahan Hindia Belanda itu diteruskan dengan hanya diganti namanya menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Territorial integrity nya masih intact seperti masa penjajahan Belanda. Kalau semasa penjajah Hindia Belanda dulu, mereka merasa beruntung untuk menyatukan satu administrasi diatur dari Batavia, dibawah penjajahan Belanda supaja mereka mudah menggenggam anak jajahannya didalam satu tangan, dan mengumpulkan semua hasil diluar Jawa dan di Jawa untuk diboyong ke Netherland, tetapi sekarang semua hasil dari luar Jawa dikumpulkan untuk membangun Jawa.
Kita bangsa-bangsa diluar Jawa masih tetap terjajah seperti masa Hindia Belanda. Kalau dulunya kita melawan serdadu-serdadu penjajah Belanda, kini serdadu-serdadu dari Jawa dikirimkan ke negeri-negeri kita untuk membunuh dengan kejam rakjat di Aceh, di Papua dan di Maluku. Hasil negeri kita diambil, rakyat kita dibunuh.
Bagi anak-anak muda bangsa Aceh, bangsa Papua Barat dan bangsa Maluku yang sudah direcruit didalam TNI. Tidakkah anda merasa bahwa anda membunuh bangsamu sendiri? Rakyatmu sendiri, saudaramu sendiri, yang engkau bunuh dan siksa.
Kita telah hidup dibawah system negara yang salah ini selama 66 tahun. Dibandingkan negara-negara melayu lainnya di nusantara ini yang lebih belakangan merdeka, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, kita jauh ketinggalan dari segi politik ataupun dari segi ekonomi.
Mereka jauh lebih maju daripada kita yang sudah lebih awal merdeka. RI sudah mengalami krisis politik dan ekonomi beberapa kali. Masalah administrasi Negara dan korupsi bertambah-tambah sudah tidak mungkin dibantras lagi, seperti cancer yang telah merebak dengan metastasis ke tulang sampai ke otak. System centralisasi pemerintahan NKRI ini hanya menguntungkan:
1. Negara-negara investor asing. Mereka mudah berurusan dengan satu tangan sahaja untuk mengeruk keuntungan berlipat ganda dari konsessi tambang, konsessi hutan, yang mereka buat. Cukup berurusan dengan seorang Jendral atau seorang Menteri yang memegang kekuasaan untuk seluruh Indonesia.
2. Memudahkan korupsi bagi kepala-kepala jawatan. Indonesia adalah satu Negara yang cukup luas, cukup kaya dengan hasil alam dan mempunyai penduduk nr. 4 terbanyak didunia. Keperluan daripada 250 juta manusia dipegang oleh satu tangan tentu keuntungannya luar biasa.
Dari segi keuntungan pribadi seseorang/company inilah kapitalis-kapitalis dunia tidak menginginkan NKRI ini pecah . Mereka tetap senang dan ingin agar kepulauan-kepulauan melayu ini ada dalam satu tangan, sehingga mudah mereka melanjutkan penjajahan dalam bentuk ekonomi atas bangsa-bangsa melayu nusantara ini. System pemerintahan central ini dengan faham communist, ataupun kapitalis, hasilnya ya, sama saja. Satu industri besar dalam satu tangan untuk semua bangsa-bangsa yang berada dibawah jajahan mereka.
Yang menguntungkan adalah Jendral-jendral yang memegang peranan/kekuasaan atas negeri-negeri diluar Jawa dan pengusaha-pengusaha yang mempunyai kuasa untuk menentukan pembelian dan supply kebutuhan anak negeri diseluruh Wilayah NKRI.
Jenderal-jenderal yang mendapat konsessi menebang hutan tropikal dan menjual balak keluar negeri. Tanpa memperdulikan kehancuran hutan tropical dan perusakan alam dan global warming.
Apakah kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dicegah?
System Unitary High Central State ini telah dipraktekkan oleh empirium Russia, yang dulunya disebut dgn Soviet Union atau theUnion of Soviet Socialist Republics. USSR sebagai Negara Superpower pada masanya, dapat bertahan sebagai Highly Centralized State hanya 69 tahun(1922-1991).
Bermacam bentuk system pemerintahan dan persatuan bangsa-bangsa telah dicobakan kepada mereka. Pada tahun 1991 pecah menjadi 15 negara yaitu: 1. Armenia, 2. Azerbaijan, 3. Belarus, 4. Estonia, 5. Georgia, 6. Kazakhstan, 7. Kyrgyzstan, 8. Latvia,9. Lithuania, 10. Moldova, 11. Russia, 12. Tajikistan, 13. Turkmenistan, 14. Ukraine, dan 15. Uzbekistan. Bangsa Chekoslavia pecah menjadi dua Negara, yaitu Chechs Republik dan Slavs Republik. Demikian juga dengan Socialist Federal Republic of Yugoslavia bertahan 65 tahun(1946-2011), sekarang telah menjadi 7 negara merdeka yaitu: 1.Slovenia, 2.Croatia, 3.Bosnia-Herzegovina, 4.Serbia, 5.Montenegro, 6.Republik Macedonia, dan 7.Republik Kosovo. Kosovo memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Februari 2008 dan diakui sebagai Republik Kosovo pada 4 Februari 2011.
Bermacam bentuk model pemerintahan telah dicobakan, pada akhirnya solusi terakhir, mereka merdeka dan membentuk negara masing-masing seperti diatas.
Pada tahun 1945 hanya ada 51 Negara yang membentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa disingkat dengan PBB atau United Nation. Sekarang sudah 194 Negara yang menjadi anggota PBB. Scottland yang cukup makmur dan beradab kini sedang menuntut merdeka, lepas dari United Kingdom dan berdiri sendiri sebagai Negara Merdeka. Quebec masih berjuang untuk merdeka dari Canada.
Pada permulaan Indonesia merdeka, perasaan-perasaan kebangsaan dari bangsa-bangsa melayu itu telah muncul dengan terbentuknya Federasi Negara-negara bagian(federal) dalam bentuk Nagra Pasundan di Jawa Barat, NST, NIT dsb.didalam Republik Indonesia Serikat(RIS).
Perdjuangan Kemerdekaan bukanlah suatu perbuatan kriminal, tetapi itu adalah satu perbuatan legal dan suci yang merupakan Hak setiap bangsa. Yang penting caranya, jangan melanggar Hak-hak azasi manusia. Tuhan telah mencipta kita manusia berbangsa-bangsa didunia yang sama, hanya satu dunia.
Berbaik-baiklah bergaul sesamamu, jangan satu bangsa menjajah bangsa lain. Kalau demikian maka peperangan tidak akan habis-habisnya dipermukaan bumi. Dalam dunia modern dan beradab sekarang ini hampir semua masalah dapat diselesaikan dimeja perundingan, melalui pembicaraan.
Bukan seperti dizaman primitive dulu, pukul dulu baru bicara. Itu cara-cara cowboy, cara-cara preman, pakai hukum rimba. Yang penting adalah organisasi, mangement, communication. Gunakan kemudahan IT, internet, mobile, lobbying, diplomasi, dan semua kemudahan pada zaman ini.
Siapa yang rugi? Rakyat dan bangsa-bangsa yang terjajah tersebut. Sehubungan NKRI yang rugi adalah Rakyat-rakyat di Sumatra, di Kalimantan, di Sulawesi, di Bali, di Nusatenggara, di Ambon, di West Papua. Penguasa-penguasa daripada NKRI tidak merasakan bahwa mereka adalah ”public servant” atau hamba rakyat, yang bekerja untuk memberi service kepada rakyat, demi kesejahteraan rakyat. Tetapi penguasa-penguasa NKRI memperlakukan rakyat sebagai hamba sahaya mereka, budak jajahan mereka yang harus tunduk dan patuh kepada kepentingan dan kemauan Pemerintah Pusat.
Sudah 66 tahun kita hidup dibawah cengkeraman kekuasaan militer ABRI, TNI yang ber-dwi fungsi. Didalam negeri-negeri yang sudah merdeka seperti di Eropa tidak kita lihat militer berkeliaran dikota lengkap dengan persenjataan mereka yang siap tempur seperti Koramil, kopaksus dinegeri kita.
NKRI tidak mempunyai musuh dari luar yang mengancam untuk menyerang mereka. Yang kita perlukan adalah Polisi untuk menjaga ketentraman rakyat dan mengamankan rakyat dari pembunuhan, perampokan, perkosaan hak rakyat didalam negeri. Dalam 66 tahun ini sudah banyak kali dan berulang kali kita lihat pembunuhan rakyat, perampokan harta rakyat dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh TNI, Tentra Nasional Republik Indonesia, militer NKRI, terhadap rakyat di Aceh, di Sulawesi, di Maluku, di Papua.
Pembunuhan massal semasa DI di Pulut Cot Jeumpa, pembunuhan masal Simpang KKA, pembunuhan masal Tgk. Bantakiah dan murid-muridnya, tidak pernah dituntut di International Court of Justice. Pembunuhan-pembunuhan, serta pelanggaran-pelanggaran HAM ke atas rakyat Aceh ini tidak ada ubahnya seperti pembunuhan-pembunuhan keatas rakjat Libya oleh tentra diktator Khadafi, atau seperti genocide terhadap rakyat Bosnia oleh Milosevic.
Bangsa-bangsa melayu nusantara dan bangsa-bangsa melayu melanesia harus mempersiapkan dirinya untuk menyelamatkan Persatuan Bangsa-bangsa tersebut. Saya melihat untuk mempersatukan kembali bangsa-bangsa melayu raya ini dibawah satu Persatuan negara-negara yang lebih adil dan mantap tidak menjajah satu sama lainnya seperti dalam bentuk NKRI sekarang ini. Salah satu model daripada Konfederasi Melayu Asia Tenggara mungkin seperti dibawah ini:
1.Republik Federasi Aceh Sumatra
2.The Federation of Java and Bali
3.The Federation of
Nusatenggara
4.Republik Persatuan Sulawesi
5.Republik Persatuan Borneo
6.Republik Persatuan Maluku dan Pulau-pulau Halmahera
7.State of West Papua
Pembagian kekuasaan dan pembentukan negara-negara ini kita serahkan kepada kemauan rakyat-rakyat setempat dan kebangsaaan negeri-negeri tersebut dalam menentukan hak self determination mereka.
Kemudian apakah Konfederasi Negara-negara melayu Nusantara dan persatuan bangsa-bangsa Melanesia ini masuk bergabung dengan Asean atau sebaliknya itu akan kita bicarakan kemudian dengan pertemuan bersama Negara-negara Melayu yang baru saja menentukan nasibnya sendiri untuk kepentingan bersama dari segi politik, ekonomi dan pertahanan bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Wabillahi taufiq walhidayah, Wassalamu’alaikum warahmatullah.
Lampiran (7)
Pilkada Aceh di Mata Acheh-Sumatra National Liberation Front
Oleh Ariffadhillah [Ketua Presidium Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF)]
Minggu, 22 April 2012 18:15 WIB.
Pesta demokrasi telah berakhir dan rakyat
Acheh baru saja melaksanakan hak-hak demokrasi mereka untuk memilih
posisi gubernur, bupati dan walikota dalam pemilu pada 9 April yang
lalu. Hampir 7 tahun setelah penanda tangani Nota Kesepahaman, yang
mengakhiri perang antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Acheh Merdeka
(GAM), sekali lagi rakyat Acheh menjalani salah satu periode paling
sulit dalam masa-masa damai ini.
Meskipun penampilan yang
keterlaluan menjelang pemilu dan selama masa-masa kampanye, calon dari
bekas kombatan yang tergabung dalam Partai Acheh yaitu Zaini
Abdullah-Muzakkir Manaf menang secara mutlak atas kandidat lainnya,
termasuk Irwandi Yusuf yang maju melalui jalur independen, walaupun ia
didukung oleh mayoritas bekas komandan-komandan lapangan GAM.
Pemilu
yang secara terang-terangan dinodai oleh berbagai kekerasan termasuk
serangkaian pembunuhan yang bermotive politik, ancaman-ancaman dan
intimidasi yang luas, pengrusakan kendaraan calon saingan dan segala
macam muslihat kotor lainnya.
Dengan kemenangan ini, Partai
Acheh, yang digambarkan oleh International Crisis Group sebagai satu
"partai otokratis, hampir menyerupai sistem feodal yang tidak menerima
ada perbedaan pendapat", sekarang mengontrol penuh badan legislatif dan
eksekutif. (Acheh’s bloodstained elections, GlobalPost, 6 April 2012).
Ketua
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Nyak Arief Fadhillah lebih lanjut
menegaskan bahwa Partai Acheh mengintimidasi para pemilih hampir di
seluruh wilayah, memaksa mereka untuk memilih kandidat dari partai itu.
"Kami mendapat laporan intimidasi dari hampir semua daerah. Di Pidie,
misalnya, seorang petugas TPS memberikan suara tiga kali. Kami masih
mengumpulkan lebih banyak bukti untuk mendukung dakwaan kami bahwa
intimidasi terjadi secara besar-besaran," katanya. (Paswaslu: Intimidasi
Terjadi di Hampir seluruh Daerah, Achehkita.com, 10 April 2012).
Asian
Network For Free Elections (ANFREL), dalam laporan awalnya tanggal 11
April, sangat kritis terhadap bagaimana pemilu ini berlangsung. Para
pengamat dari organisasi ini menyatakan, bahwa ancaman-ancaman melalui
SMS telah dilaporkan kepada pihak pengamat pemilu di berbagai wilayah,
tetapi tidak ada tindakan lebih lanjut.
Damaso Magbual, ketua
ANFREL, melaporkan tentang penyimpangan-penyimpangan selama hari
pemungutan suara, seperti satu kejadian dimana seorang anggota
legislatif setempat tiba di sebuah tempat pemilihan dan memerintahkan
para pemilih untuk memilih calon tertentu. Jenis ancaman seperti ini
menjadi lebih buruk lagi, seperti dalam satu kasus yang diamati oleh
ANFREL, para pelaku adalah tokoh "kuat dan terkenal". (Acheh Election
Office Attacked Amid Claims of Vote Buying, The Jakarta Globe, 11 April
2012).
Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) sudah
sepatutnya khawatir tentang perkembangan dan situasi masa depan di
Acheh, khususnya tentang keamanan anggota-anggotanya yang masih
berkeinginan kuat mewujudkan kemerdekaan Acheh. Sejarah menunjukkan
bahwa pihak-pihak pejabat masa depan Acheh belum mampu menyesuaikan
dirinya ke dalam suasana pasca konflik dan masih memiliki
perilaku-perilaku yang tercela.
Masalah hak asasi manusia
Di
Acheh, hak asasi manusia telah dianggap sebagai sesuatu untuk masa
lampau. Meskipun telah ditetapkan dalam pasal 2.2 dan 2.3 dalam Nota
Kesepahaman (MoU) Helsinki bahwa "Pengadilan HAM" dan "Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi" akan dibentuk di Acheh, namun sejauh ini belum ada
kejelasannya setelah hampir 7 tahun kesepahaman damai tersebut
ditanda-tangani. Yang terjadi sekarang adalah pelaku-pelaku telah
berupaya melarikan diri dari keadilan dengan rekonsiliasi di antara
mereka-mereka sendiri dan mengampuni dan melupakan pelanggaran masa
lalu, termasuk pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang tak terhitung jumlahnya selama konflik.
Rekonsiliasi memang
telah terjadi antara bekas kombatan (GAM) dan militer Indonesia. Tapi
tidak ada upaya semacam itu dilakukan antara mantan kombatan dan orang
Acheh sendiri dan antara militer Indonesia dengan pihak korban
pelanggaran HAM.
Harapan yang tinggi untuk membentuk komisi yang
disebutkan di atas, untuk membawa para pelaku ke pengadilan menjadi
semakin jauh setelah dua bekas panglima militer indonesia untuk Acheh,
Jenderal Sunarko dan Mayjen Jalil Yusuf bergabung secara aktif dengan
Partai Acheh dalam masa kampanye untuk memenangkan kandidatnya. Menurut
berita salah satu media lokal, kedua pejabat tinggi militer tersebut,
yang terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia selama konflik, hampir
dipastikan akan tinggal di Acheh sebagai penasehat untuk pemerintah
Acheh yang baru.
Gagasan untuk membawa para pelaku pelanggaran
HAM ke pengadilan telah berlangsung lama dan terus-menerus disuarakan
oleh rakyat Acheh untuk menuntut kebrutalan-kebrutalan yang tidak
terkatakan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata Indonesia terhadap
rakyat Acheh dalam tiga dekade terakhir ini. Tetapi dengan perkembangan
akhir-akhir ini, Acheh sekali lagi jatuh dalam cengkeraman besi pihak
Jakarta melalui tangan-tangan bekas jenderal yang penuh berlumuran
darah.
Masalah Politik
ASNLF yang didirikan oleh Dr. Tengku
Hasan di Tiro pada tahun 1976, adalah satu-satunya front perjuangan
pembebasan yang sah, yang berdasarkan pada sejarah, hukum internasional
dan konvensi, yang terus memperjuangkan kemerdekaan Acheh dari
neo-kolonialisme Indonesia. Kami percaya bahwa akar permasalahan Acheh
adalah permasalahan politik dan ini harus diselesaikan secara politik.
Oleh karena itu, tanpa kembali ke akar persoalan,
pelanggaran-pelanggaran HAM di Acheh tidak akan pernah terperbaiki.
Masalah Acheh harus diselesaikan melalui prinsip-prinsip dari hak
penentuan nasib sendiri rakyat Acheh untuk menentukan masa depan mereka
sendiri.
Sekitar 60 tahun yang lalu, negara-negara anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi sebuah resolusi yang
berkaitan untuk memecahkan masalah hak asasi manusia: "Hak orang-orang
dan bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah satu persyaratan
awal untuk merealisasi penuh hak asasi manusia" (Resolusi PBB 637-A, 16
Desember 1952). Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa tidak akan ada
perdamaian tanpa keadilan dan tidak akan ada keadilan tanpa rasa hormat
kepada hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang mendasar. Dan
hak-hak asasi manusia tidak dapat sepenuhnya terwujud bila hak suatu
bangsa untuk menentukan nasib sendiri tidak diindahkan.
ASNLF
sangat prihatin, bahwa perkembangan politik setelah pemilihan umum akan
menciptakan ketidakpuasan yang kuat di antara calon-calon yang kalah
dengan tidak adil, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
ketidakstabilan dan mungkin menyebabkan konflik kambuh lagi.
Situasi
politik di tanah air kami adalah sedemikian rupa sehingga dalam
masa-masa damai ini masih terlalu banyak masalah yang harus
diselesaikan. Dan kami tidak punya alasan untuk mempercayai, bahwa
situasi di Acheh ke depan akan dapat menjamin adanya perlindungan dari
tekanan-tekanan dan intimidasi terhadap hak-hak politik orang Acheh dan
identitas bangsa Acheh. Oposisi belum merasa aman hidup di Acheh.
http://theglobejournal.com/opini/pilkada-aceh-di-mata-acheh-sumatra-national-liberation-front/index.php
http://www.asnlf.org/
________________________________
TEMPO | Aneuk Bajeung di Tanah Rencong
OLEH: TEMPO - 18/04/2012 - 11:17 WIB
ISKANDAR berjalan sendiri menuju tempat pemungutan suara, dua ratus meter dari rumahnya di Bayu, Aceh Utara. Pada pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, Senin pekan lalu, ia telah menetapkan pilihan: Irwandi Yusuf, gubernur 2006-2011, yang berpasangan dengan Muhyan Yunan.
Langkahnya gontai. Trauma belum hilang. Akhir Maret lalu, pria 59 tahun ini dipukuli belasan orang. Kepalanya luka, terkena tendangan sepatu bot yang ujungnya dilapisi besi. Koordinator tim pemenangan Irwandi-Muhyan di Lhoksukon, Aceh Utara, ini mengenali penyerangnya. Mereka temannya ketika bergerilya di Gerakan Aceh Merdeka yang marah karena Iskandar melarang pemasangan spanduk bergambar Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf. “Mereka menyebut saya sebagai aneuk bajeung (anak haram),” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Di jalan setapak, tak jauh dari tempat pemungutan suara, Iskandar melewati sekelompok lelaki. Di antaranya pria 40 tahun, anak buahnya ketika bergerilya di gunung. Ayah Is, begitu Iskandar disapa, dulu ule sagoe, komandan pasukan GAM setingkat kecamatan. “Ayah Is, coblos nomor lima, ya,” kata Iskandar menirukan teriakan pria itu.
Nomor lima merupakan urutan Zaini dan Muzakkir pada kartu suara. Mereka didukung Partai Aceh, tempat para bekas anggota GAM bernaung. Iskandar menoleh ke para lelaki itu dan menjawab dalam bahasa Aceh: “Itu bukan urusan kau.” Ia sengaja mengeluarkan suara agak keras agar didengar polisi penjaga tempat pemungutan suara.
Iskandar melihat kelompok pria itu juga menyuruh setiap pemilih yang melintas agar memilih “nomor lima”. Polisi tak mempedulikan teriakan Iskandar. Ajakan para lelaki di jalan setapak juga dibiarkan. Sore harinya, pada saat penghitungan suara, pasangan Zaini-Muzakkir menang mutlak di tempat pemungutan suara itu.
Meski pemilihan berjalan lancar, pemerintah mencatat 30-an pelanggaran. Sebagian besar berupa kekerasan, termasuk intimidasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menyatakan sejumlah tindakan yang tidak fair pada hari pemilihan terjadi di beberapa wilayah Aceh. Aksi kekerasan juga melibatkan mereka yang dulu sama-sama menjadi gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka.
l l l
Jauh-jauh hari, dukungan penuh diulurkan para tetua GAM kepada Zaini-Muzakkir. Pada Juli tahun lalu, Pemangku Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haythar, memimpin pertemuan di mesnya, Jalan Danubroto, Banda Aceh. Pada pertemuan itu, ia mendadak berdiri. Belasan laki-laki yang duduk di meja persegi panjang di depannya terdiam. Malik memerintahkan seseorang menutup pintu ruangan. Ia lalu berbicara dalam bahasa Aceh: “Saya hanya satu kali ini minta tolong kepada kalian: mari dukung Zaini dan Mualim memimpin Aceh.”
Muzakkir Abdul Hamid, pengawal Zaini yang datang pada pertemuan tersebut, mengisahkan, Malik ketika itu mengatakan sudah saatnya orang dari Partai Aceh memimpin Serambi Mekah. Ia hanya berbicara sebentar, lalu duduk lagi. Ruangan itu kemudian hening. Semua peserta rapat mengangguk setuju. Mereka bersumpah setia akan mendukung Zaini dan mantan Panglima GAM Muzakkir Manaf, yang biasa disapa Mualim.
Tujuh belas ketua wilayah Komite Peralihan Aceh, yayasan tempat menampung para bekas kombatan GAM, hadir. Mereka dulu merupakan panglima GAM di berbagai wilayah setara kabupaten. Di antaranya Muharram, yang memimpin Komite Peralihan Aceh Besar, dan Saiful Husen alias Cagee, yang memimpin wilayah Bireuen. Muzakkir Manaf, yang memimpin Komite Peralihan, juga hadir.
Muharram menuturkan, seusai pertemuan kurang dari satu jam itu, Cagee berdiri. Ia mengeluarkan stempel ketua wilayah KPA dari tas. Ia juga membawa map berisi dokumen internal KPA Bireuen. Ia meletakkan stempel dan map itu di atas meja, lalu keluar dari ruangan tanpa berbicara. “Itu simbol tidak setuju dengan rencana Malik,” kata Muharram. Dua pekan kemudian, Cagee tewas. Dua peluru menembus tubuhnya di depan warung kopi miliknya di Peusangan, Bireuen.
Sejak itu, suara di kalangan bekas anggota GAM terbelah. Ada yang setuju dengan Malik, ada yang menolak. Kedua kubu, yang pernah bersama berjuang di atas gunung, lalu berhadap-hadapan. Mereka yang menolak Zaini-Muzakkir kemudian mendukung Irwandi Yusuf, yang pernah menjadi juru bicara GAM.
Seorang bekas gerilyawan menjelaskan alasan penolakannya. Menurut dia, Zaini dan Muzakkir terlalu tinggi untuk menjadi gubernur. “Mereka simbol gerakan kami, kini derajatnya di bawah orang Jakarta,” katanya.
Berbagai kekerasan di Aceh kemudian terjadi: penembakan, pembunuhan, dan teror. Kedua pihak saling tuding. “Polisi harus berani mengungkap aksi teror dan kecurangan agar tuduhan tidak mengarah kepada kami,” kata Zaini, yang diperkirakan memenangi pemilihan, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
l l l
Sejak awal tahun lalu, warung kopi di berbagai pelosok Aceh kian ramai. Topik terhangat pembicaraan mereka adalah pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan dan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf, dua pasangan terkuat, mengerahkan tim propaganda masing-masing. “Setiap ada kesempatan dialog, anggota tim akan mengajak memilih kami,” kata Irwandi. Warung kopi merupakan lokasi favorit penduduk Aceh untuk bertemu.
Tim dari Partai Aceh juga bergerak. Sekretaris tim pemenangan Zaini-Muzakkir, Kautsar Muhammad Yus, menjelaskan, timnya memanfaatkan sel-sel di Partai Aceh dan Komite Peralihan untuk mengumpulkan suara. Sel-sel ini sudah lama terbentuk dan diisi orang-orang yang dulu bersimpati kepada GAM. “Sekarang tinggal memanfaatkannya,” ujarnya.
Berbagai klaim juga dilancarkan. Amir, bekas anggota GAM di Batee Ilik, Bireuen, mengatakan Doto’ panggilan Zaini adalah orang yang paling paham soal perjanjian damai Helsinki. Ia menyatakan ada beberapa poin perjanjian yang belum dikerjakan, terutama yang berhubungan dengan kesejahteraan Aceh. “Dengan terpilihnya Doto’, seluruh isi perjanjian bisa terlaksana,” katanya.
Rumor kerusuhan akan meletup bila Zaini-Muzakkir tidak terpilih juga bertiup di desa-desa. Di sebuah kedai di Sawang, Aceh Utara, misalnya, orang yang diduga anggota Partai Aceh kerap meniupkan “teror”: Aceh bakal lebih parah daripada masa darurat militer bila Zaini-Muzakkir kalah. “Orang langsung takut. Mereka trauma,” ujar Ibrahim, penduduk Peureulak, Aceh Timur.
Zaini membantah kabar miring ini. Ia menyatakan tak mau berperang lagi. Dukungan kepada Partai Aceh, kata dia, diberikan karena masyarakat Aceh tak suka lagi kepada Irwandi, yang dianggap gagal meningkatkan ekonomi Aceh. Zaini lalu mengklaim sambutan kepadanya di berbagai daerah yang ia datangi. “Dukungan masyarakat Aceh kepada kami sungguh luar biasa,” katanya.
[Mustafa Silalahi (Banda Aceh), Imran M.A. (Lhokseumawe
Irwandi challenges Zaini’s victory in court
The Jakarta Post | Fri, 04/27/2012 9:53 AM | National
The losing candidate in the Aceh gubernatorial election, Irwandi Yusuf, filed an electoral fraud complaint with the Constitutional Court on Thursday alleging that the April 9 election was marred by rampant fraud and vote-rigging.
Irwandi, the outgoing governor, and former propaganda chief for the now-defunct Free Aceh Movement (GAM), also alleged that his rival Zaini Abdullah won the election through the threat and use of violence.
“We want to prove that Zaini won the election through illegal means and terrorizing people. This isn’t right and it has to be stopped,” Irwandi’s lawyer Muhammad Asrun said during a hearing at the Constitutional Court in Central Jakarta.
He said that the Aceh Election Supervisory Committee (Panwaslu) confirmed that intimidation had been used against voters and even election workers.
The Aceh Independent Election Commission announced on April 17 that Zaini Abdullah and his running mate, Muzakir Manaf, won the local election and would lead Aceh for the 2012–2017 term.
Zaini and Muzakir won a substantial victory, garnering 1,3227,695 votes (55.78 percent) while Irwandi and his running mate Muhyan Yunan received only 694,515 votes (29.18 percent).
Constitutional Court Chief Mahfud MD, who presided over Thursday’s court sitting, adjourned until Friday to hear responses from the commission and Zaini’s attorneys.
Irwandi’s lawyer also asked the court to summon several suspects in recent terror attacks in Aceh who are now in police custody.
Tensions heightened in Aceh ahead of the election. On New Year’s Eve, a shooting spree claimed the lives of several civilians.
Last month, the police shot dead a terror suspect identified as Maimun J.F. and arrested another in a raid in Banda Aceh.
Separately, Coordinating Political, Legal and Security Affairs Minister Djoko Suyanto praised the Acehnese for their conduct of the election.
He also lauded Irwandi’s efforts to maintain security ahead of the election.
“I applaud the former Aceh governor’s success in maintaining stability in the recent gubernatorial election,” he said on the sidelines of the 2012 National Development Planning Conference in Jakarta on Thursday. (aml)
Aceh Man Caught Smuggling 35 Kilograms of Marijuana to Medan
April 28, 2012
North Sumatra police have arrested an Acehnese civil servant allegedly attempting to smuggle 35 kilograms of marijuana from Aceh to Medan.
The arrest was made by North Sumatra’s Binjai Timur police as Muhammad Lephia, from the Aceh district of Aceh Tamiang, drove his car through Binjai Timur on his way to Medan.
Police found Lephia had hidden 35 kilograms of dry marijuana leaves behind the panels inside of his car, metrotvnews.com reported on Saturday.
Binjai Timur Police chief Adj. Comr. Ismui said Lephia admitted to serving as a delivery man and being paid Rp 200,000 ($22) per kilogram of dry marijuana leaves he delivered to an unknown person in Medan.
Lephia said he had agreed to deliver the marijuana to pay the bills for his car, which has now been seized by police.
Ismui said police had been suspicious of Lephia’s activities for some time, and had been monitoring his activity for two weeks before the arrest.
He added police would charge Lephia with the 2009 Law on Narcotics, and that he might face a minimum of 15 years in jail.
Under Indonesian law, a person found guilty of distributing more than 5 grams of marijuana might face the death penalty.
Saturday, April 28, 2012
Irwandi challenges Zaini’s victory in court
The Jakarta Post | Fri, 04/27/2012 9:53 AM | National
The losing candidate in the Aceh gubernatorial election, Irwandi Yusuf, filed an electoral fraud complaint with the Constitutional Court on Thursday alleging that the April 9 election was marred by rampant fraud and vote-rigging.
Irwandi, the outgoing governor, and former propaganda chief for the now-defunct Free Aceh Movement (GAM), also alleged that his rival Zaini Abdullah won the election through the threat and use of violence.
“We want to prove that Zaini won the election through illegal means and terrorizing people. This isn’t right and it has to be stopped,” Irwandi’s lawyer Muhammad Asrun said during a hearing at the Constitutional Court in Central Jakarta.
He said that the Aceh Election Supervisory Committee (Panwaslu) confirmed that intimidation had been used against voters and even election workers.
The Aceh Independent Election Commission announced on April 17 that Zaini Abdullah and his running mate, Muzakir Manaf, won the local election and would lead Aceh for the 2012–2017 term.
Zaini and Muzakir won a substantial victory, garnering 1,3227,695 votes (55.78 percent) while Irwandi and his running mate Muhyan Yunan received only 694,515 votes (29.18 percent).
Constitutional Court Chief Mahfud MD, who presided over Thursday’s court sitting, adjourned until Friday to hear responses from the commission and Zaini’s attorneys.
Irwandi’s lawyer also asked the court to summon several suspects in recent terror attacks in Aceh who are now in police custody.
Tensions heightened in Aceh ahead of the election. On New Year’s Eve, a shooting spree claimed the lives of several civilians.
Last month, the police shot dead a terror suspect identified as Maimun J.F. and arrested another in a raid in Banda Aceh.
Separately, Coordinating Political, Legal and Security Affairs Minister Djoko Suyanto praised the Acehnese for their conduct of the election.
He also lauded Irwandi’s efforts to maintain security ahead of the election.
“I applaud the former Aceh governor’s success in maintaining stability in the recent gubernatorial election,” he said on the sidelines of the 2012 National Development Planning Conference in Jakarta on Thursday. (aml)
Discourse : Aceh’s governor-elect touts business, sharia and reconciliation Zaini Abdullah
| Fri, 04/27/2012 8:21 AM |
Zaini Abdullah and his running mate, Muzakir Manaf, recently won Aceh’s gubernatorial election with more than 51 percent of the vote and are expected to lead the province until 2017. Both were senior members of the Free Aceh Movement (GAM), which waged a decades-long violent insurgency against the Indonesian government that ended with the signing of the Helsinki agreement in 2005. Zaini, GAM’s former foreign minister, recently talked with The Jakarta Post’s Hotli Simanjuntak about his plans and strategies to develop one of the nation’s poorest provinces. Below are excerpts of their discussion:
Question: What will be your top priority in the short term?
Answer: We are putting efforts to maintain peace and security on the top of our agenda. Then we will focus on how to increase the welfare of the people and reduce unemployment by helping to create more jobs.
I want Aceh to be strongly self-sufficient in its economy, as we have a huge potential in the agriculture, fishery and plantation sectors, where the people who work there are still using traditional means. We want to ensure that we can facilitate them to be more productive. In the foreseeable future, there will be more subsidies for these sectors as well as more education and training.
Our attention will also cover poor people, who have been long affected by the conflict and the [2004] tsunami by providing them not only with healthcare facilities but also with free education until high school. We will also select students with high IQs to be groomed to develop the province.
There are actually no contentious issues in Aceh, other than miscommunication and a lack of information and equal participation of all elements. I even plan to have women and ulama [religious leaders] play a greater role in developing Aceh.
Another issue is to ensure that all points in the [Helsinki] memorandum of understanding are implemented well and included in the Law on Aceh Governance. Many points have not been accommodated, such the division of authority between the central and local government.
Also, some points in the Aceh governance law do not comply with the [memorandum]. We want those points to be reviewed. We’re planning to have a coordination meeting with the central government every three months to discuss sustaining peace in Aceh.
How will you convince business to come to Aceh?
The most important thing is to ensure investors that Aceh is a safe place to do business. We are hoping to forge better cooperation with the central government to reach out to investors and make sure that their security here is guaranteed.
There should be sincerity, honesty and openness on the part of the central government to explain what really happened in Aceh. We need to build more trust with the central government so that investors do not feel hesitation or concern over the business climate in Aceh.
How will you assure investors concerned about rampant illegal fees?
Creating a clean government is a must. This is among the top items on our agenda. We want to change the mind-set of the bureaucracy in Aceh from working to merely make a living to working to serve.
How do you plan on exploiting Aceh’s abundant mineral wealth?
I will definitely reorganize the management of our mining resources. I am sad and concerned to see how the natural resources in this province have been managed.
I’ve lived in Sweden and I would adopt strategies and polices applied there to ensure that our natural resources here are managed in a sustainable way.
I am surprised to see all of our natural resources are sold in raw form, and have only benefitted China, as the commodities have been sold very cheap.
What I will do is have all of our mining commodities processed here in Aceh and then exported. I would also revoke all mining licenses that have the potential to harm our protected forests. There are even some licenses to mine in such forests. This will be a huge disaster for the environment. This must be stopped
immediately.
I thank nongovernmental organizations in the environment sector for raising these issues. We will cooperate to rearrange our mining policies.
On security, how do you plan to reconcile the losing parties to ensure stability?
The focus point of my reconciliation efforts will not only cover the losing parties but also all of Aceh’s people to ensure that they are involved and accommodated.
I welcome all parties to our camp as long as we share the same vision. If they don’t, I cannot force them.
How do you see the implementation of sharia law in Aceh?
Well, I’ve never missed prayers, including when I lived overseas. For the Acehnese, religion is the meat that has nourished you since you were a child.
No Acehnese would ever sever their ties with Islam. But for me, religion and sharia are not contentious issues.
What’s important is to bring the province to its glory as in the time of [Sultan] Iskandar Muda [1583–1636]. At the time all affairs were based on the Koran and the Hadith [the sayings of Muhammad]. That was how the kingdom gained prosperity.
Iskandar Muda could forge quality ties with people from all walks of life, domestically and overseas, whether they were Muslim or non-Muslim. And that’s exactly what I’m planning to replicate.
I want to implement full sharia law, not just partially, as what has been implemented today. This can only be done if you can balance prevention and treatment. I want all Acehnese children to have the highest quality of religious teachings so that they can become good Muslims.
Zaini Abdullah and his running mate, Muzakir Manaf, recently won Aceh’s gubernatorial election with more than 51 percent of the vote and are expected to lead the province until 2017. Both were senior members of the Free Aceh Movement (GAM), which waged a decades-long violent insurgency against the Indonesian government that ended with the signing of the Helsinki agreement in 2005. Zaini, GAM’s former foreign minister, recently talked with The Jakarta Post’s Hotli Simanjuntak about his plans and strategies to develop one of the nation’s poorest provinces. Below are excerpts of their discussion:
Question: What will be your top priority in the short term?
Answer: We are putting efforts to maintain peace and security on the top of our agenda. Then we will focus on how to increase the welfare of the people and reduce unemployment by helping to create more jobs.
I want Aceh to be strongly self-sufficient in its economy, as we have a huge potential in the agriculture, fishery and plantation sectors, where the people who work there are still using traditional means. We want to ensure that we can facilitate them to be more productive. In the foreseeable future, there will be more subsidies for these sectors as well as more education and training.
Our attention will also cover poor people, who have been long affected by the conflict and the [2004] tsunami by providing them not only with healthcare facilities but also with free education until high school. We will also select students with high IQs to be groomed to develop the province.
There are actually no contentious issues in Aceh, other than miscommunication and a lack of information and equal participation of all elements. I even plan to have women and ulama [religious leaders] play a greater role in developing Aceh.
Another issue is to ensure that all points in the [Helsinki] memorandum of understanding are implemented well and included in the Law on Aceh Governance. Many points have not been accommodated, such the division of authority between the central and local government.
Also, some points in the Aceh governance law do not comply with the [memorandum]. We want those points to be reviewed. We’re planning to have a coordination meeting with the central government every three months to discuss sustaining peace in Aceh.
How will you convince business to come to Aceh?
The most important thing is to ensure investors that Aceh is a safe place to do business. We are hoping to forge better cooperation with the central government to reach out to investors and make sure that their security here is guaranteed.
There should be sincerity, honesty and openness on the part of the central government to explain what really happened in Aceh. We need to build more trust with the central government so that investors do not feel hesitation or concern over the business climate in Aceh.
How will you assure investors concerned about rampant illegal fees?
Creating a clean government is a must. This is among the top items on our agenda. We want to change the mind-set of the bureaucracy in Aceh from working to merely make a living to working to serve.
How do you plan on exploiting Aceh’s abundant mineral wealth?
I will definitely reorganize the management of our mining resources. I am sad and concerned to see how the natural resources in this province have been managed.
I’ve lived in Sweden and I would adopt strategies and polices applied there to ensure that our natural resources here are managed in a sustainable way.
I am surprised to see all of our natural resources are sold in raw form, and have only benefitted China, as the commodities have been sold very cheap.
What I will do is have all of our mining commodities processed here in Aceh and then exported. I would also revoke all mining licenses that have the potential to harm our protected forests. There are even some licenses to mine in such forests. This will be a huge disaster for the environment. This must be stopped
immediately.
I thank nongovernmental organizations in the environment sector for raising these issues. We will cooperate to rearrange our mining policies.
On security, how do you plan to reconcile the losing parties to ensure stability?
The focus point of my reconciliation efforts will not only cover the losing parties but also all of Aceh’s people to ensure that they are involved and accommodated.
I welcome all parties to our camp as long as we share the same vision. If they don’t, I cannot force them.
How do you see the implementation of sharia law in Aceh?
Well, I’ve never missed prayers, including when I lived overseas. For the Acehnese, religion is the meat that has nourished you since you were a child.
No Acehnese would ever sever their ties with Islam. But for me, religion and sharia are not contentious issues.
What’s important is to bring the province to its glory as in the time of [Sultan] Iskandar Muda [1583–1636]. At the time all affairs were based on the Koran and the Hadith [the sayings of Muhammad]. That was how the kingdom gained prosperity.
Iskandar Muda could forge quality ties with people from all walks of life, domestically and overseas, whether they were Muslim or non-Muslim. And that’s exactly what I’m planning to replicate.
I want to implement full sharia law, not just partially, as what has been implemented today. This can only be done if you can balance prevention and treatment. I want all Acehnese children to have the highest quality of religious teachings so that they can become good Muslims.
PT investa Aceh
Triangle Energy (Global) Limited : Triangle signs agreement with Aceh government owned PT Investa Aceh
04/27/2012 | 03:49am
T r i a n g l e s i g n s a g r e e m e n t w i t h A c e h g o v e r n m e n t o w n e d P T I n v e s t a A c e h
27 April 2012.
Triangle Energy (Global) Limited (Triangle Energy) (ASX: TEG) is pleased to confirm it has executed an exclusive Memorandum of Agreement (MOA) with PT Investa Aceh, a company owned by the Government of Aceh.
The MOA outlines the terms for the future management and operation of the Pase Working
Area within the province of Aceh.
As a result, PT Investa Aceh is proceeding with the Indonesian Central Government to secure a new Production Sharing Contract (PSC) in relation to the Pase Working Area.
About Triangle Energy:
Triangle Energy is a gas production and exploration company based in Perth. Its wholly- owned subsidiary, Triangle Pase Inc, is based in Jakarta and has operated the Pase
Production Sharing Contract since June 2009 which covers an area of 922km2 in Aceh
Province, North Sumatra, Indonesia. Triangle Energy is continuing to review further acquisition opportunities in the area.
ASX CODE: TEG
Unit7
589 Stirling Highway
Cottesloe WA 6011 Australia
Telephone 08 9286 8300
Facsimile 08 9385 5184
admin@triangleenergy.com.au www.triangleenergy.com.au
For Further information, please contact:
John Towner - Executive Chairman Triangle Energy (Global) Limited
| Address: Unit 7, 589 Stirling Highway, Cottesloe WA 6011 | Tel: + 61 8 9286 8300 | Fax: + 61 8 9385 5184 | admin@triangleenergy.com.au | www.triangleenergy.com.au |
04/27/2012 | 03:49am
T r i a n g l e s i g n s a g r e e m e n t w i t h A c e h g o v e r n m e n t o w n e d P T I n v e s t a A c e h
27 April 2012.
Triangle Energy (Global) Limited (Triangle Energy) (ASX: TEG) is pleased to confirm it has executed an exclusive Memorandum of Agreement (MOA) with PT Investa Aceh, a company owned by the Government of Aceh.
The MOA outlines the terms for the future management and operation of the Pase Working
Area within the province of Aceh.
As a result, PT Investa Aceh is proceeding with the Indonesian Central Government to secure a new Production Sharing Contract (PSC) in relation to the Pase Working Area.
About Triangle Energy:
Triangle Energy is a gas production and exploration company based in Perth. Its wholly- owned subsidiary, Triangle Pase Inc, is based in Jakarta and has operated the Pase
Production Sharing Contract since June 2009 which covers an area of 922km2 in Aceh
Province, North Sumatra, Indonesia. Triangle Energy is continuing to review further acquisition opportunities in the area.
ASX CODE: TEG
Unit7
589 Stirling Highway
Cottesloe WA 6011 Australia
Telephone 08 9286 8300
Facsimile 08 9385 5184
admin@triangleenergy.com.au www.triangleenergy.com.au
For Further information, please contact:
John Towner - Executive Chairman Triangle Energy (Global) Limited
| Address: Unit 7, 589 Stirling Highway, Cottesloe WA 6011 | Tel: + 61 8 9286 8300 | Fax: + 61 8 9385 5184 | admin@triangleenergy.com.au | www.triangleenergy.com.au |
From ballots to bullets in Aceh
From ballots to bullets in Aceh
Earlier this month, leaders of the former separatist group Aceh Free Movement (GAM) in Indonesia's northern province of Aceh won gubernatorial elections for the second time since giving up their armed insurgency in 2005. But they learned that governing by democratic means is just as challenging as waging guerilla warfare from the jungles -- if not more so.
Zaini Abdullah, who eight years ago served as foreign and health minister of the Aceh government-in-exile in Sweden, won the election, beating incumbent governor Irwandi Yusuf. Zaini's running mate, Muzakir Manaf, formerly the military commander of GAM, will serve as deputy governor.
A physician by profession who joined the independence fight in the 1970s, in recent press interviews Zaini has said that he will now focus on bringing peace and economic development to Aceh. Like most other former rebel leaders, however, he has not openly renounced his separatist aspirations, saying rather that he is "putting them aside."
Zaini was the chief negotiator for GAM when it signed the peace agreement with Jakarta in Helsinki in August 2005 that ended 30 years of bloody warfare. In return for giving up weapons and pledging allegiance to Indonesia, the former rebels are allowed to organize politically and contest the local elections if they want to govern the autonomous territory.
The GAM gambit paid off. The group transformed itself into the Aceh Party, which has since won local elections that have put many of its own people in charge of the provincial and district governments and the legislative councils.
Irwandi also won the gubernatorial elections in 2007 on the Aceh Party tick, but this year he had to run as an independent after the party withdrew its support and gave it to Zaini Abdullah. As a result, this month's gubernatorial elections were essentially a two-horse race -- and both of the candidates were ex-guerillas. Between them the two former rebel leaders won over 80 percent of the votes, sidelining the three candidates representing the interests of Jakarta-based political parties. The Aceh Party candidates also won many of the elections at the district level.
A strong reminder of the precarious situation facing the new Aceh leaders came just two days after the April 9 elections, when an earthquake measuring 8 on the Richter scale rocked the territory. The tremor set off a massive panic (the photo above shows people fleeing to higher ground), but the early tsunami warnings turned out to be unfounded. Ten people died, some from fear or heart attacks.
Ironically, it was the massive devastation of Aceh after the even bigger earthquake and ensuing tsunami in December 2004 (which killed over 200,000 people) that forced GAM and the Indonesian government to meet halfway and sign a peace treaty that enabled them to rebuild the devastated territory together.
Since then, the elected GAM members now in charge of running Aceh have had to learn the ins and outs of governance even while bearing much of the responsibility for rebuilding a territory ravaged by war and natural disasters.
As outgoing governor Irwandi has learned the hard way, failing to meet the people's expectations means being voted out of office. Zaini, who moves to the governor's office in May, could meet the same fate five years from now. And next time around, there's no guarantee that the Aceh Party will be as popular as it is today.
With peace and security remaining one of the biggest problems facing Aceh (since many former rebels have kept their weapons in contravention of the Helsinki agreement), Zaini will have to work together with the Indonesian police and military, the very same forces he and his GAM colleagues fought bitterly for more than 30 years.
In spite of the peace deal, violence remains the order of the day in Aceh. It increased during the election campaign, and the polling day had to be delayed by two months.
Aceh's precarious security condition also made it an ideal base for a breakaway group of the Jemaah Islamiyyah, the deadly Indonesian terrorist organization. The group set up a military training facility there that was discovered by the police only in 2010.
Zaini will also have to decide about what to do about sharia. At the height of the military campaign against the rebels, Jakarta gave the local government in Aceh leeway to impose Islamic law. It was all part of an attempt to drive a wedge between GAM and local Islamic leaders. GAM has largely been a secular independence movement and has never taken up Islam as its cause. Today, Aceh is the only province in Indonesia governed according to Islamic law. While beheading is not practiced, the caning of "sinners" has become a public spectacle after Friday prayers in some towns.
The biggest challenge facing Zaini and his GAM colleagues is how to bring prosperity. The people in Aceh count among the poorest in Indonesia even though the province is rich in oil, gas, and forestry products. Prolonged war, poor governance, and the fact that most of the gas revenues in the past went to Jakarta and its American oil contractors, have combined to keep Aceh impoverished. Today, under the autonomy deal, a larger share of revenues from natural resources stays in Aceh.
The former rebel leaders in Aceh have so much on their plates, and so many challenges to overcome, that independence seems a remote if not irrelevant issue, at least for now. The autonomy deal gave them the main thing they were fighting for, namely, control over their own destinies. Now they have to show that they can do the rest.
Earlier this month, leaders of the former separatist group Aceh Free Movement (GAM) in Indonesia's northern province of Aceh won gubernatorial elections for the second time since giving up their armed insurgency in 2005. But they learned that governing by democratic means is just as challenging as waging guerilla warfare from the jungles -- if not more so.
Zaini Abdullah, who eight years ago served as foreign and health minister of the Aceh government-in-exile in Sweden, won the election, beating incumbent governor Irwandi Yusuf. Zaini's running mate, Muzakir Manaf, formerly the military commander of GAM, will serve as deputy governor.
A physician by profession who joined the independence fight in the 1970s, in recent press interviews Zaini has said that he will now focus on bringing peace and economic development to Aceh. Like most other former rebel leaders, however, he has not openly renounced his separatist aspirations, saying rather that he is "putting them aside."
Zaini was the chief negotiator for GAM when it signed the peace agreement with Jakarta in Helsinki in August 2005 that ended 30 years of bloody warfare. In return for giving up weapons and pledging allegiance to Indonesia, the former rebels are allowed to organize politically and contest the local elections if they want to govern the autonomous territory.
The GAM gambit paid off. The group transformed itself into the Aceh Party, which has since won local elections that have put many of its own people in charge of the provincial and district governments and the legislative councils.
Irwandi also won the gubernatorial elections in 2007 on the Aceh Party tick, but this year he had to run as an independent after the party withdrew its support and gave it to Zaini Abdullah. As a result, this month's gubernatorial elections were essentially a two-horse race -- and both of the candidates were ex-guerillas. Between them the two former rebel leaders won over 80 percent of the votes, sidelining the three candidates representing the interests of Jakarta-based political parties. The Aceh Party candidates also won many of the elections at the district level.
A strong reminder of the precarious situation facing the new Aceh leaders came just two days after the April 9 elections, when an earthquake measuring 8 on the Richter scale rocked the territory. The tremor set off a massive panic (the photo above shows people fleeing to higher ground), but the early tsunami warnings turned out to be unfounded. Ten people died, some from fear or heart attacks.
Ironically, it was the massive devastation of Aceh after the even bigger earthquake and ensuing tsunami in December 2004 (which killed over 200,000 people) that forced GAM and the Indonesian government to meet halfway and sign a peace treaty that enabled them to rebuild the devastated territory together.
Since then, the elected GAM members now in charge of running Aceh have had to learn the ins and outs of governance even while bearing much of the responsibility for rebuilding a territory ravaged by war and natural disasters.
As outgoing governor Irwandi has learned the hard way, failing to meet the people's expectations means being voted out of office. Zaini, who moves to the governor's office in May, could meet the same fate five years from now. And next time around, there's no guarantee that the Aceh Party will be as popular as it is today.
With peace and security remaining one of the biggest problems facing Aceh (since many former rebels have kept their weapons in contravention of the Helsinki agreement), Zaini will have to work together with the Indonesian police and military, the very same forces he and his GAM colleagues fought bitterly for more than 30 years.
In spite of the peace deal, violence remains the order of the day in Aceh. It increased during the election campaign, and the polling day had to be delayed by two months.
Aceh's precarious security condition also made it an ideal base for a breakaway group of the Jemaah Islamiyyah, the deadly Indonesian terrorist organization. The group set up a military training facility there that was discovered by the police only in 2010.
Zaini will also have to decide about what to do about sharia. At the height of the military campaign against the rebels, Jakarta gave the local government in Aceh leeway to impose Islamic law. It was all part of an attempt to drive a wedge between GAM and local Islamic leaders. GAM has largely been a secular independence movement and has never taken up Islam as its cause. Today, Aceh is the only province in Indonesia governed according to Islamic law. While beheading is not practiced, the caning of "sinners" has become a public spectacle after Friday prayers in some towns.
The biggest challenge facing Zaini and his GAM colleagues is how to bring prosperity. The people in Aceh count among the poorest in Indonesia even though the province is rich in oil, gas, and forestry products. Prolonged war, poor governance, and the fact that most of the gas revenues in the past went to Jakarta and its American oil contractors, have combined to keep Aceh impoverished. Today, under the autonomy deal, a larger share of revenues from natural resources stays in Aceh.
The former rebel leaders in Aceh have so much on their plates, and so many challenges to overcome, that independence seems a remote if not irrelevant issue, at least for now. The autonomy deal gave them the main thing they were fighting for, namely, control over their own destinies. Now they have to show that they can do the rest.
Subscribe to:
Comments (Atom)